Cerpen Endry Sulistyo, 99

- Minggu, 25 Juni 2023 | 14:54 WIB

Oeh: Endry Sulistyo

 

Bapak dan ibunya sepertinya telah lelap di kamar. Seharian keduanya sibuk menggarap ladang. Mustari sengaja duduk di teras rumah agar bapak-ibunya tak terganggu saat istirahat.

Segelas kopi, sanggar cempedak bikinan ibunya petang tadi, menemani Mustari. HP digeletakkan begitu saja di meja. Percuma juga digunakan. Jika cuaca mendung seperti ini, sinyal bakalan susah didapat. Diisapnya lintingan tembakau yang bawa dari Jawa. Ia tahu persis, bapaknya adalah penyuka tembakau Temanggung dari tanah para leluhurnya.

Mustari tak habis pikir, mengapa kampungnya sama persis sepinya dengan kondisi sewaktu ia tinggalkan sepuluh tahun yang lalu untuk merantau ke Jawa. Gelap dan sepi. Padahal, kampungnya kini kian padat dihuni manusia. Belum juga pukul 10 malam, namun tak ada tetangga yang melintas dan beraktivitas.

Jika dulu listrik masih terbatas, kini hampir setiap rumah warga telah menyala. Tetapi mengapa sunyi ini begitu berbeda dirasakan Mustari dibandingkan kondisi dulu. Tak terdengar olehnya bunyi jangkrik atau suara kodok yang memberi isyarat menjelang turun hujan? Aneh.

Ingatan Mustari melayang, menyeberangi lautan menuju Jawa, mengingat peristiwa sepuluh tahun silam. Mustari kecil yang begitu terpesona melihat besarnya kapal penumpang KM Mutiara Sentosa I yang akan membawanya ke tanah Jawa. Terpesona ketika bapaknya bercerita detail tentang kapal yang akan ditumpanginya.

“KM Mutiara Sentosa I ini dibangun pada 1988, dengan panjang 127 meter, lebar 21 meter. Bobot kapal Ferry Roro (roll on roll off) mencapai 12,365 ton.”

Bapaknya begitu fasih bercerita tentang kapal raksasa ini. Meskipun pada akhirnya ketika kapal benar-benar berangkat meninggalkan dermaga, di setiap malamnya justru Mustari kecil terkapar, muntah berkali-kali karena mabuk laut.

Hampir seminggu Mustari kecil beserta kedua orangtuanya tinggal di Temanggung. Begitu nyaman. Mustari kecil begitu suka dengan hawa dingin di pagi hari. Setiap pagi bahkan Mustari kecil duduk di lincak, bangku panjang yang terbuat dari anyaman bambu, menikmati pagi, hawa dingin, dan tentu saja mengagumi Gunung Sindoro dan Sumbing yang terpampang di depan mata.

Semua baik-baik saja, hingga suatu pagi, Mustari kecil tak bisa merasakan hawa dingin pagi. Badannya mengeras, air matanya mengucur deras, dan suaranya parau dengan teriakan penolakan. Tidak!

Bapak dan ibu Mustari sudah bersiap menaiki mobil travel yang akan membawa mereka ke Surabaya.

“Kamu baik-baik saja di sini ya, Le. Kami titipkan kamu pada si mbah. Jangan nakal. Jangan lupa bantu-bantu juga di kebun,” kata bapak waktu itu. 

“Tapi Mustari pengen ikut bapak dan ibu ke Kalimantan.”

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X