Sepanjang tahun 2021 hingga 2023, tercatat dua kasus kekerasan terhadap anak dan delapan kasus kejahatan seksual anak yang dilaporkan ke pihak kepolisian, namun penyelesaiannya mandek. Sampai sekarang kasus-kasus tersebut tak kunjung tuntas.
“Sepanjang tahun 2021 hingga 2023, kami mencatat ada dua kekerasan dan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang telah dilaporkan ke kepolisian, namun (proses penyelesaiannya) jalan di tempat,” kata Ketua LBH Anak Bunga Bangsa, Dewi Aripurnamawati.
Dewi mengatakan, untuk kasus kejahatan seksual terhadap anak, jumlah korban yang mengadukan kasusnya sebanyak delapan orang.
Sementara pelakunya antara lain ayah kandung, ayah tiri, dan orang dewasa yang tidak ada hubungan dengan korban.
Kasus persetubuhan terhadap anak yang dialami N (14), misalnya. Dikatakan Dewi, korban disetubuhi oleh ayah tirinya sejak masih duduk di kelas lima SD hingga SMP. Kasus tersebut dilaporkan oleh ibu kandung korban ke pihak kepolisian.
Namun, belakangan laporan itu dicabut oleh pelapor dengan alasan akan menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan.
Padahal, kata Dewi, sudah jelas terhadap kasus kejahatan seksual terhadap anak, tidak ada penyelesaian kasus di luar peradilan.
“Kasus kejahatan seksual terhadap anak ini menggunakan undang undang lex spesialis. Tidak boleh dilakukan restorative justice,” tegasnya.
Seharusnya, sambung Dewi, meski pelapor mencabut laporan atau pengaduan, kepolisian tetap memproses kasus tersebut.
“Pelaku eksploitasi terhadap korban sampai saat ini tidak tersentuh. Kasus ini dilaporkan Agustus 2022 tapi sampai sekarang (belum tuntas). Yang mirisnya, pelaku yang dituduh melakukan pencabulan terhadap korban juga anak-anak,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Dewi, ada beberapa kasus kejahatan seksual terhadap anak lain yang penanganannya justru “hilang”.
“Hilang” maksudnya pelaku sudah dilakukan penahanan, sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi oleh polisi kasus tersebut dihentikan. Alasannya antara korban dan pelaku sudah berdamai.
Dewi menyatakan, seperti yang sudah dikatakannya bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak adalah lex spesialis yang artinya tidak bisa diselesaikan di luar peradilan.
“Kasus ini dilaporkan Oktober 2022. Ada dua laporan di tempat kejadian yang sama. Korbannya dua orang, pelakunya beda orang. Tetapi kasusnya hilang,” ungkap Dewi.
Kasus lainnya adalah persetubuhan terhadap anak dengan pelaku ayah kandung. Korban berusia 12 tahun.
Pihaknya juga tidak mengetahui sudah sampai di mana perkembangan penanganan kasusnya, meski pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“Ada satu kasus lain yang dilaporkan sejak 2021 tetapi sampai sekarang juga tidak tahu sampai di mana penanganan kasusnya,” kata Dewi.
Ia menilai, penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan kepolisian dapat dikatakan cukup buruk.
Sementara, masyarakat tentu menginginkan penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak berjalan sesuai dengan koridor.
“Jangan sampai penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan kepolisian malah melukai rasa keadilan korban,” tegas Dewi.
Proses hukum terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak pada dasarnya adalah untuk memenuhi rasa keadilan korban dan memberikan efek jera kepada pelakunya.
Kasat Reskrim Polresta Pontianak Kompol Tri Prasetyo dalam dialog publik bertema “Pontianak Darurat Kejahatan Seksual Anak” menyebutkan, mengungkap kasus kejahatan seksual memang cukup berat. Salah satunya karena sulit mendapatkan saksi.
“Karena yang resmi menikah saja tertutup. Apalagi yang tak resmi,” terangnya. Menurut Tri, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kasus kekerasan seksual. Pertama, kondisi keluarga.
“Adapula faktor pendidikan, hingga ekonomi yang mendorong mereka jadi korban pelecehan seksual,” terangnya.
Di samping itu, faktor eksternal yang mendorong kejahatan seksual terdiri dari lingkungan pergaulan, teknologi, dan media. (arf)