Di tengah sebagian masyarakat masih mengandalkan pekerjaan arang bakau sebagai sandaran hidup, dan terkendala pekerjaan pengganti, sudah ada sebagian warga di desa Batu Ampar mulai sadar meninggalkan pekerjaan arang bakau.
Salah satunya adalah Suheri, 40, generasi keempat yang sempat mewarisi pekerjaan arang bakau dari orang tuanya. Katanya, bila mendengar beragam cerita orang tua di desa, aktivitas pembuatan arang bakau sudah ada sejak tahun 1920. Sekitar tahun 1980-an banyak berdiri perusahaan pengolahan kayu di pinggiran sungai desa Batu Ampar, bahkan di sekitar muara desa dulunya tempat bersandar kapal-kapal yang mengangkut hasil hutan hingga ke luar negeri.
Masyarakat desa dulunya banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Namun sejak jatuhnya kejayaan industri kayu sekitar tahun 2000-an, banyak masyarakat beralih menjadi penebang kayu bakau dan bekerja di tungku arang.
“Saat itu tak banyak pilihan pekerjaan pasca perusahaan kayu banyak tutup di Desa Batu Ampar. Pekerjaan yang paling mudah didapat di desa penebang kayu bakau, atau bekerja di tungku arang,” jelasnya.
Suheri melanjutkan untuk memiliki satu tungku arang yang menampung 4 ton kayu bakau dibutuhkan modal sebesar Rp60 juta. Pendapatan bersih dari tungku arang berukuran 4 ton tersebut sekitar Rp3 juta.
Besarnya modal dan kecilnya keuntungan yang didapat membuat ia berpikir untuk tidak melanjutkan pekerjaan tersebut. Selain itu ia pun menyadari bahwa status hutan mangrove yang diambil kayu sebagai bahan baku arang, merupakan kawasan hutan lindung.
Suheri akhirnya mantap berhenti menjadi pekerja arang, ia kini mencoba keberuntungan mengembangkan potensi di desanya.
“Sejak tahun 2013 saya sudah tidak lagi menggeluti pekerjaan arang bakau. Saya mencoba mencari potensi di desa yang bisa dikembangkan. Seperti pembesaran ikan tirus di keramba dan memanen madu di hutan mangrove,” tuturnya.