Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat melepasliarkan lima ekor binturong ke habitatnya. Satwa dengan nama Latin Arctictis binturong itu dilepasliarkan di Bukit Oha’k, Desa Rees, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, kemarin.
Pelepasliaran lima ekor binturong tersebut menjadi rangkaian Ritual Adat Naki Bukit Oha’k, di mana dalam ritual juga mengukuhkan wilayah berhutan yang ada di Desa Rees seluas 226 hektare sebagai hutan adat.
Binturong merupakan hewan mamalia dalam famili Viverridae, yang termasuk hewan seperti musang. Binturong memiliki rambut tebal berwarna hitam dan bergaris perak, kumis yang tipis, dan memiliki ekor yang panjangnya hampir sepanjang tubuhnya.
Binturong merupakan salah satu spesies yang berstatus Vulnerable (VU), artinya menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang (IUCN, 2016). Menurut CITES (2021), binturong termasuk satwa berstatus appendix III, binturong juga satwa yang dilindungi, termasuk di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 106/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/ 6/2018.
Pelepasliaran binturong kali ini sebagai salah satu upaya konservasi dalam penyelamatan populasi binturong di Indonesia pada umunya. Dipilihnya Bukit Oha’k sebagai lokasi pelepasliaran binturong adalah sesuai dengan kesesuaian habitat yang sebelumnya telah dilakukan survei kesesuaian habitat oleh tim BKSDA Kalbar, serta keinginan masyarakat Desa Rees yang menetapkan Bukit Oha’k sebagai kawasan lindung masyarakat setempat.
“Kami warga Desa Rees telah bersepakat menetapkan seluruh wilayah Bukit Oha’k sebagai hutan adat kami, yang akan kami jaga baik tumbuhan, satwa, maupun alamnya dengan tidak merusak dan memburu satwa yang ada di dalamnya. Jika ada yang melanggar, kami akan kenakan sanksi adat dan sanksi hukum yang berlaku, dan kami tuangkan dalam peraturan yang mengikat antara perangkat adat dan masyarakat melalui Perdes,” kata Kepala Desa Rees, Asdanus.
Hal ini juga dikuatkan dengan apa yang disampaikan Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Menjalin, Thomas Apon. Menurutnya, masyarakat telah berkomitmen untuk menjaga tiga bukit yang ada di wilayah mereka, yaitu Bukit Oha’k, Bukit Sepatun, dan Bukit Sempuro menjadi areal pelaksanaan kearifan lokal masyarakat adat Dayak. Selain itu mereka juga sudah membuat buku panduan adat yang akan diberlakukan terhadap bukit ini tersebut.
Kepala BKSDA Kalimantan Barat, RM. Wiwied Widodo, mengapresiasi setinggi-tingginya kepada masyarakat Desa Rees dan seluruh pihak dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati yang menjadi kekayaan alam Kalimantan Barat.
“Ke depan kami akan menindaklanjuti kegiatan-kegiatan lain yang mendukung upaya konservasi, salah satunya dengan peningkatan SDM bagi pengelolaan kawasan ini, seperti konsep Desa Ramah Satwa. Kami bersyukur sudah dapat tambahan kawan dan tambahan rumah untuk satwa liar hidup di alam,” kata Wiwied.
Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Landak, Heri Saman, yang turut hadir dalam rangkaian acara ini menyampaikan harapan kepada masyarakat, untuk menjaga dan melestarikan hutan ini, agar tetap lestari sehingga mampu menjadi warisan bagi generasi mendatang.
“Terima kasih juga kepada Dewan Adat yang telah menyusun kesepakatan adat. Untuk itu kalau sudah menjadi kesepakatan adat harus dipatuhi,” pesan sosok yang juga Ketua DPRD Kabupaten Landak tersebut. “Jika ada pelanggaran maka bisa diberikan sanksi,” timpalnya.
Dalam rangkaian Ritual Adat Naki Bukit Oha’k kali ini, selain pelepasliaran satwa juga diserahkan SK Hutan adat oleh Dewan Adat Kabupaten Landak dan Penetapan batas kawasan Hutan adat sebagai kelengkapan administrasi penetapan Hutan Adat secara sah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke depannya. (arf)