Kisah Kurniati: Dari Pengungsian, Kini Pekerjakan 25 Penenun

- Rabu, 31 Mei 2023 | 10:44 WIB
MENENUN: Kurniati (44) sedang menenun kain songket di pabrik mini di belakang rumahnya, Gang Sambas Jaya, Batulayang, Pontianak Utara.
MENENUN: Kurniati (44) sedang menenun kain songket di pabrik mini di belakang rumahnya, Gang Sambas Jaya, Batulayang, Pontianak Utara.

Kerusuhan Sambas tahun 1999 memaksa Kurniati dan keluarganya hijrah ke Pontianak. Berbekal kemampuan menenun, ia bertahan hidup dan menjadi sukses. Pun di era digital, saat usianya menua, ia tak hilang kemampuan beradaptasi.

 

KURNIATI semringah. Pasca-pandemi usaha tenun songket yang ia geluti kembali normal. “Alhamdulillah sekarang sudah lancar. Bahkan bisa dibilang kami panen. Karena songket-songket yang tiga tahun tak laku habis diborong,” ujarnya sembari memintal benang di halaman belakang rumahnya, Gang Sambas Jaya, Jl Khatulistiwa, Kelurahan Batu Layang, Pontianak Utara.

Nama Sambas pada gang itu lantaran hampir semua warga di sini adalah eks-pengungsi konflik antar-etnis di Kabupaten Sambas tahun 1999. 

Kurniati ingat betul. Kala itu ia masih gadis berusia 20 tahun. Saat tragedi itu pecah, ia dan keluarganya menjadi bagian dari puluhan ribu orang yang tinggal di kantong-kantong pengungsian di Pontianak. Lantaran tak betah, ia dan keluarganya pun mengontrak rumah. Demi membiayai sewa rumah dan makan sehari-hari, berbekal kemampuannya menenun, ia pun memulai usaha ini. 

“Saya dari kecil sudah menenun, karena keluarga di Sambas juga memang kerjanya menenun. Sampai sekarang kami masih berhubungan baik dengan penenun asli sana,” sebut perempuan kelahiran 1978 ini.

Modal awalnya Rp60.000. Itupun dari tabungan terakhir keluarganya. Uang tersebut ia belikan alat pemintal sederhana. Dasar punya bakat, ia kemudian mampu menghasilkan kain-kain songket berkualitas. Segera ia mempunyai pelanggan tetap.

Ternyata permintaan terhadap songket Sambas sangat tinggi. Kurniati mulai menarik minat kaum perempuan di Gang Sambas Jaya untuk belajar menenun. Kini ada 25 penenun di tempat ini.

Sebagian dari mereka ia modali dengan alat tenun. Kurniati menjadi penampung produknya. Adapula yang menjadi karyawannya.

Di pabrik mininya, ia punya enam alat tenun. Belum lagi yang dititipkan ke rumah karyawannya.

Hasilnya lumayan. “Omzet kotor saya pribadi satu bulan bisa Rp30-60 juta. Tergantung ramai atau tidaknya. Kadang-kadang kalau ada event besar bisa lebih dari itu,” tukasnya.

Secara kuantitas, produksi songket di sini memang tak banyak. Lantaran pembuatan satu lembar kain membutuhkan waktu paling capat seminggu.

“Tapi karena buatan tangan, harganya tinggi. Dari sejutaan sampai belasan juta rupiah. Yang belasan juta itu pakai pewarna alam,” imbuh ibu tiga anak ini.

Adaptasi digital

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Polres Landak Fokus Pencegahan Aktivitas PETI

Rabu, 24 April 2024 | 11:30 WIB

Erlina Optimis Mempawah Semakin Maju

Senin, 22 April 2024 | 09:15 WIB

Balap Liar Mulai Resahkan Warga Sukadana

Rabu, 17 April 2024 | 11:20 WIB
X