Kerusuhan Sambas tahun 1999 memaksa Kurniati dan keluarganya hijrah ke Pontianak. Berbekal kemampuan menenun, ia bertahan hidup dan menjadi sukses. Pun di era digital, saat usianya menua, ia tak hilang kemampuan beradaptasi.
KURNIATI semringah. Pasca-pandemi usaha tenun songket yang ia geluti kembali normal. “Alhamdulillah sekarang sudah lancar. Bahkan bisa dibilang kami panen. Karena songket-songket yang tiga tahun tak laku habis diborong,” ujarnya sembari memintal benang di halaman belakang rumahnya, Gang Sambas Jaya, Jl Khatulistiwa, Kelurahan Batu Layang, Pontianak Utara.
Nama Sambas pada gang itu lantaran hampir semua warga di sini adalah eks-pengungsi konflik antar-etnis di Kabupaten Sambas tahun 1999.
Kurniati ingat betul. Kala itu ia masih gadis berusia 20 tahun. Saat tragedi itu pecah, ia dan keluarganya menjadi bagian dari puluhan ribu orang yang tinggal di kantong-kantong pengungsian di Pontianak. Lantaran tak betah, ia dan keluarganya pun mengontrak rumah. Demi membiayai sewa rumah dan makan sehari-hari, berbekal kemampuannya menenun, ia pun memulai usaha ini.
“Saya dari kecil sudah menenun, karena keluarga di Sambas juga memang kerjanya menenun. Sampai sekarang kami masih berhubungan baik dengan penenun asli sana,” sebut perempuan kelahiran 1978 ini.
Modal awalnya Rp60.000. Itupun dari tabungan terakhir keluarganya. Uang tersebut ia belikan alat pemintal sederhana. Dasar punya bakat, ia kemudian mampu menghasilkan kain-kain songket berkualitas. Segera ia mempunyai pelanggan tetap.
Ternyata permintaan terhadap songket Sambas sangat tinggi. Kurniati mulai menarik minat kaum perempuan di Gang Sambas Jaya untuk belajar menenun. Kini ada 25 penenun di tempat ini.
Sebagian dari mereka ia modali dengan alat tenun. Kurniati menjadi penampung produknya. Adapula yang menjadi karyawannya.
Di pabrik mininya, ia punya enam alat tenun. Belum lagi yang dititipkan ke rumah karyawannya.
Hasilnya lumayan. “Omzet kotor saya pribadi satu bulan bisa Rp30-60 juta. Tergantung ramai atau tidaknya. Kadang-kadang kalau ada event besar bisa lebih dari itu,” tukasnya.
Secara kuantitas, produksi songket di sini memang tak banyak. Lantaran pembuatan satu lembar kain membutuhkan waktu paling capat seminggu.
“Tapi karena buatan tangan, harganya tinggi. Dari sejutaan sampai belasan juta rupiah. Yang belasan juta itu pakai pewarna alam,” imbuh ibu tiga anak ini.
Adaptasi digital
Pandemi Covid-19 telah mengubah cara Kurniati berbisnis. Wabah Corona seketika membuat jualan yang dipusatkan di outlet depan rumahnya sepi.
Demi membiayai produksi dan gaji karyawan, ia harus menggadaikan harta bendanya. “Segala emas saya gadai. Mereka (karyawan) kan harus bergaji, walaupun saya tidak ada pemasukan,” sebutnya.
Itu pun tidak cukup. Ia kemudian mengambil Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Rakyat Indonesia. Reputasi Kurniati membuat pihak BRI percaya.
Tidak hanya memberikan KUR, BRI juga menghibahkan 3 alat pemintal. Bahkan Kurniati dan kelompoknya mendapatkan bantuan pembinaan dan pelatihan pemasaran digital dari bank pelat merah ini.
“Ternyata memasarkan lewat e-commerce dan media sosial ada manfaatnya. Pembeli saya bahkan ada yang dari luar negeri seperti. Walaupun tak sebesar jual langsung, tapi saat pandemi kemarin cukup membantu,” sebutnya.
Kurniati berbagi tugas dengan anak-anaknya untuk pemasaran digital. Ia menangani akun Facebook. Sementara anak-anaknya bermain di Instagram dan sejumlah e-commerce. Ia juga menggunakan QRIS untuk pembeli yang langsung datang ke rumahnya.
Popularitas kerajinan tenun turut memunculkan kreativitas baru bagi masyarakat setempat. Salah satunya dengan membuat paket-paket wisata Apalagi UNESCO telah menetapkan songket Sambas sebagai warisan kebudayaan dunia, sehingga keingintahuan orang terhadap tenun Sambas kian besar.
Kini Gang Sambas melabeli diri sebagai Kampung Wisata Tenun yang menawarkan sejumlah paket wisata. Terlebih Gang Sambas Jaya letaknya cukup strategis. Jaraknya hanya lima menit dari Tugu Khatulistiwa, ikon Pontianak.
Bulan depan Kurniati akan kedatangan rombongan turis dari negara Qatar. Untuk paket wisata menenun, setiap tamu membayar Rp125 ribu.
“Jadi nanti mereka diajari menenun. Lalu ada cinderamata syal tenun untuk tiap orang. Mereka nanti juga dapat rebusan pangan lokal seperti ubi, kacang, pisang, dan jagung. Mudah-mudahan wisata di sini ramai terus,” pungkasnya. (Aristono)