Kalimantan menyimpan banyak kekayaan keanekaragaman hayati, salah satunya adalah Bekantan atau Nasalis larvatus. Populasinya kian menurun seiring maraknya praktik perburuan dan kerusakan habitat aslinya. Nasib primata endemik Kalimantan itu kian terpuruk.
Arief Nugroho, Pontianak
BEKANTAN memiliki ciri khas yang sangat mencolok, yakni hidung yang besar dan perutnya yang buncit. Bulunya berwarna coklat kemerahan di bagian punggung dan bahu, hingga di bagian tengah. Dadanya berwarna krem, juga kerah krem leher dan pinggang sampai pantat dan ekornya.
Selain ciri fisik, binatang ini juga memiliki keunikan, yakni melahirkan satu bayi dalam satu musim. Periode kehamilan mereka adalah sekitar 166 hari. Biasanya mereka melahirkan bayi pada malam hari dan bayi yang baru lahir memiliki wajah biru dan bulu hampir hitam yang masih jarang-jarang. Di usia 3 sampai 4 bulan terjadi perubahan warna pada anak bekantan, semua itu menandakan mereka sudah dewasa.
Para betina saling bekerja sama, di mana mereka saling menjaga dan menyusui anak-anak bekantan lain. Bayi ini baru bisa lepas dari sang ibu setelah satu tahun, di saat sang ibu sudah memiliki bayi lainnya. Bekantan jantan akan mencapai kematangan seksual pada sekitar 4 – 5 tahun dan betina dalam 4 tahun. Saat itu usia mereka sekitar 20 tahun.
Bekantan masuk dalam keluarga spesies Genus Nasalis yang memiliki dua subspecies Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis. Untuk Nasalis larvatus larvatus tinggal hampir di seluruh bagian pulau Kalimantan, sedangkan Nasalis larvatus orientalis berdiam di bagian timur laut dari Pulau Kalimantan.
Tahun 1994, populasi Bekantan di Kalimantan ditaksir sejumlah 114.000 ekor. Namun dalam simposium PHVA bekantan tahun 2004, populasi bekantan ditaksir tinggal 25 ribu ekor, dan yang berada di kawasan konservasinya 5 ribu ekor.
Target Perburuan dan Perdagangan
Belum lama ini, TNI Angkatan Laut melalui KRI Siribua berhasil menggagalkan praktik penyelundupan sebanyak 16 ekor Bekantan dan belasan burung Kakatua dari kapal asing berbendera Vietnam di perairan Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Satwa-satwa dilindungi itu ditemukan di dalam kamar ABK. Ditumpuk bersama hewan lain seperti ayam dan entok.
Manajer Program Yayasan Planet Indonesia (YPI) Agung Nur Haq mensinyalir bekantan-bekantan tersebut diambil dari alam liar di wilayah pesisir Kalimantan Barat.
Menurut dia, ada salah satu daerah di Kalimantan Barat yang menjadi target eksploitasi Bekantan secara ilegal, yakni di Kecamatan Telok Pakedai, Kabupaten Kubu Raya. “Ini baru dugaan. Bahwa ada salah satu desa di Kecamatan Telok Pakedai yang berbatasan dengan konsesi PT. Sintang Raya yang kerap melakukan eksploitasi Benkantan. Dan ironisnya ini dibantu oleh masyarakat sekitar,” ujar Agung.
Mirisnya, Bekantan yang menjadi target buruan adalah anakan. Artinya, untuk mendapatkan anakan bekantan, para pemburu harus membunuh induk atau pimpinan dari koloni mereka. “Bekantan itu hidup dan mendiami salah satu pohon dengan struktur. Ada pimpinan kelompok, indukan yang saling menjaga satu sama lain. Artinya, untuk mendapatkan anakan mereka harus membunuh ketua atau indukannya terlebih dahulu,” bebernya.
Dikatakan Agung, dengan terungkapnya kasus penyelundupan ini menjadi jawaban mengapa populasi bekantan terus menurun.Menurutnya, saat ini populasi Bekantan di alam liar terus mengalami pemurunan yang signifikan. “Kalau kita lihat di alam liar, biasanya mereka (Bekantan, Red) hidup berkoloni antara 20 hingga 30 ekor. Tapi sekarang, kelompok mereka cenderung menurun, antara 8 hingga 10 ekor saja,” jelasnya.
Menurut dia, saat ini Kalimantan Barat sebagai wilayah yang rentan terhadap penyelundupan tumbuhan dan satwa liar. “Secara geografis, itu lah kenapa Kalbar sangat rentan. Jalur darat berbatasan dengan Sarawak, Malaysia. Sedangkan jalur laut berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan,” katanya.
Untuk itu, pihaknya mendorong kolaborasi multipihak untuk meanggulangi kejahatan tersebut. Jika dilihat dari pelanggaran yang dilakukan, kata Agung, jelas tidak hanya melanggar Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tetapi juga Permen Nomor 106 dan juga Undang-Undang Karantina.
“Untuk itu perlu adanya kolaborasi multipihak dari masing-masing institusi,” kata dia. Selain itu, pihaknya juga mendorong adanya pemberian efek jera kepala pelaku. Karena menurut dia, selama ini kasus kejahatan lingkungan selalu divonis rendah sehingga tidak bisa menimbulkan efek jera.“Kasus-kasus kejahatan seperti ini selalu dipandang sebelah mata. Vonisnya selalu rendah. Sehingga tidak menimbulkan efek jera. Padahal tingkat kejahatan tumbuhan dan satwa liar di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan kejahatan lainnya,” pungkasnya. (*)