Presiden Joko Widodo akhirnya benar-benar melarang ekspor CPO dan produk kelapa sawit lainnya, mulai Kamis (28/4) lalu. Sebagai tindaklanjut larangan tersebut, TNI Angkatan Laut (TNI AL) Komando Armada I mengamankan kapal tanker MT. Annabelle yang mengangkut crude palm oil (CPO) di perairan Kalimantan Barat. Kapal tersebut diamankan di perairan Kijing saat akan menuju Sharjah, Uni Emirat Arab.
Panglima Komando Armada (Pangkoarmada) I Laksamana Muda TNI Arsyad Abdullah dalam keterangan tertulisnya mengatakan, penangkapan kapal berbendera asing tersebut, saat Koarmada I selaku Kotama Operasional TNI AL bertugas melaksanakan operasi penegakan kedaulatan dan hukum di laut yurisdiksi Indonesia secara intensif.
“KRI Siribua-859 menangkap Kapal Tanker MT. Annabelle yang mengangkut Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 13.357,425 MT dan metanol sebanyak 98 drum di Perairan Barat Kalimantan,” kata Arsyad.
MT Annabelle merupakan Kapal Tanker Berbendera Marshal Island dinakhodai oleh Zhao Junfeng Warga Negara Tiongkok dengan jumlah ABK 24 orang warga negara Tiongkok. Kapal tersebut diduga melakukan tindak pidana pelanggaran membawa muatan metanol tanpa dilengkapi dokumen angkutan barang berbahaya.
Hal itu melanggar Pasal 294 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dan Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Selain menangkap Kapal Tangker MT. Annabelle, pihaknya juga mengamankan kapal tanker MT World Progress yang berlayar dari Dumai menuju India di Selat Malaka oleh KRI Beladau-643.
MT World Progress merupakan kapal tanker berbendera Liberia dinakhodai Belov Alexander berkebangsaan Rusia dengan jumlah ABK 22 WNA (7 Rusia, 6 Ukraina, dan 9 India) diduga melakukan pelanggaran dokumen dengan spesifikasi GT kapal yang tertera di salah satu dokumen berbeda dengan dokumen lain serta spesifikasi kapasitas mesin pendorong yang tertera di salah satu dokumen berbeda dengan dokumen lain. Hal itu merupakan pelanggaran Pasal 302 ayat (2) Jo. Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Penangkapan MT. Annabelle dan MT World Progress merupakan implementasi perintah Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono yang memerintahkan seluruh unsur operasi jajaran TNI AL untuk meningkatkan pengawasan dan pengamanan ketat, serta menangkap dan memproses hukum bila menemukan adanya ekspor CPO atau minyak sawit beserta turunannya yang resmi dilarang oleh Pemerintah Indonesia.
“Kasal menekankan agar mendukung penuh kebijakan pemerintah dalam upaya pemulihan ekonomi nasional dan reformasi struktural dengan loyalitas tegak lurus,” tegasnya.
Ia menengarai, penyelundupan ataupun pengiriman minyak serta bahan baku minyak ke luar negeri menjadi salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga bahan pokok di Tanah Air saat ini. Permasalahan itu menjadi perhatian serius pemerintah termasuk TNI AL.
Ia menyampaikan bahwa dalam dua minggu terakhir TNI AL Koarmada I telah menangkap lima kapal membawa muatan minyak sawit dan turunannya yang saat ini sedang dalam proses penyelidikan. KRI Siribua-859 dikomandani oleh Mayor Laut (P) Jasmin Mudianto selanjutnya akan mengawal MT. Annabelle menuju Pangkalan Utama TNI AL XII Pontianak guna proses penyelidikan lanjutan.
Sebelumnya, Lantamal XII Pontianak bersama Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat dan Direktorat Polisi Air dan Udara Polda Kalbar, menggelar apel gabungan menindaklanjuti instruksi Presiden Joko Widodo terkait larangan eskpor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, Rabu 27 April 2022.
“Kami juga berkoordinasi, bagaimana juga bila kami menggabungkan personelnya di lapangan, misalnya di kapal angkatan laut ada Bea Cukai, lalu kepolisian, dan juga sebaliknya, sehingga sinergi di lapangan akan semakin baik,” tuturnya.
Kepala Penindakan dan Penyidikan DJBC Kalimantan bagian Barat, Setiawan mengatakan, sesuai edaran dari yang dilarang ialah produk turunan bahan baku minyak goreng atau RBD Palm Olein yang berkode kode harmonised system (HS), yaitu 1511 9036. 15119037 dan juga 15119039.
“Untuk CPO sendiri tidak dilarang, yang dilarang tiga produk tersebut, dan sesuai penjelasan dari Kementerian Perdagangan, pelarangan itu per tanggal PIB yakni 28 April 2022, melewati tanggal itu sudah dilarang dan tidak dilayani,” ujarnya.
Dengan demikian, pihaknya berkoordinasi dengan TNI AL dan kepolisian untuk memastikan bahwa hal itu berjalan dengan tepat, sehingga harga minyak goreng dapat ditekan mencapai Rp14.000.
Di Kalbar ia mengatakan PT. Energi Unggul Persada yang selama ini melakukan ekspor RBD Palm Oil atau bahan baku minyak goreng. Saat ini terdapat empat kapal yang sudah bergerak serta mendapatkan izin bongkar untuk melakukan ekspor dan waktu PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) tanggal 27 April 2022. “Ada empat kapal ini saat ini bisa ekspor, namun setelah ini tidak bisa dilayani lagi,” pungkasnya.
Tak Bisa Dihindari
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalimantan Barat Santyoso Tio menyebut, larangan ekspor tersebut tidak bisa dihindari, setelah berbagai kebijakan untuk mengamankan harga minyak goreng di dalam negeri gagal.
“Ini adalah upaya terakhir Presiden, karena sejak empat bulan lalu kan sudah dilakukan aturan kuota ekspor. Ternyata ada kecurangan,” sebut dia kepada Pontianak Post. Menurut Santyoso, kebijakan kali ini bisa membuat pasokan untuk minyak goreng domestik melimpah, dan berujung pada turunnya harga kebutuhan pokok masyarakat tersebut. Namun dia tidak bisa memprediksi kapan minyak goreng kembali ke harga semula yaitu Rp14.000 per liter, seperti yang diinginkan Jokowi.
Dia juga berharap larangan ekspor CPO ini menjadi momentum untuk mengembalikan wewenang pemerintah daerah terkait tata niaga dan proses perizinan perkebunan kelapa sawit. Selama ini, kata Stanyoso, banyak kendali pemerintah daerah terkait perdagangan CPO dan investasi yang diambil alih pusat atau kementerian. “Akibatnya proses izin memakan waktu sangat panjang dan tidak efisien. Dokumen menumpuk di Jakarta,” sebutnya.
Begitu juga terkait ekspor CPO, pemerintah daerah yang menjadi sentra sawit seharusnya diberi peran untuk mengontrol perdagangan di sana. “Karena gubernur itu yang paham kondisi wilayahnya masing-masing. Berapa produksi dan berapa kebutuhan. Seharusnya diberi peran. Paling tidak harus ada rekomendasi kepala daerah, tidak diambil alih pusat semua,” imbuh Santyoso.
Indonesia sendiri punya posisi yang kuat dalam pengaturan komoditas ini. Terlebih saat ini dunia dalam krisis minyak goreng yang biasanya disuplai dari minyak bunga matahari. Ukraina sebagai produsen utama dari bunga matahari. “Saatnya Pemerintah Indonesia melakukan bergaining untuk tidak lagi mengembargo minyak sawit atau memandang sinis komoditas ini. Jika ini berhasil maka dunia akan beralih kepada minyak sawit dan tentu permintaan dan harga akan meningkat,” ungkapnya.
Namun dia berharap, ke depan, kebijakan ini bisa dilonggarkan agar harga di dalam negeri tak anjlok benar. “Pemerintah harus selektif dalam pelarangan. Masak minyak goreng bekas dan limbah cair sawit dilarang diekspor. Ini tak ada hubungannya dengan meningkatkannya harga minyak goreng di pasar domestik. Pelarangan ini tidak akan berlama lama karena pemasukan pajak ekspor dari Kalbar untuk negara saja lebih dari satu triliun rupiah dalam setahun,” sebutnya.
Serupa, Ketua Apindo Kalbar Andreas Acui Simanjaya juga memberikan dukungan pada larangan ekspor CPO ini. Kendati dia menyebut ada risiko gejolak harga yang menyakitkan bagi industri dan para petani. “Memang ada risiko tetapi stabilitas dalam negeri harus diutamakan,” sebutnya.
Sementara itu, ekonom Untan Prof Dr Eddy Suratman mennyebut, larangan ekspor CPO akan mempengaruhi perdagangan dunia. Ada efek domino terhadap komoditas-komoditas dunia lainnya. Ujung-ujungnya adalah inflasi. “Untuk komoditas tertentu yang masing-masing negara produsen membatasi ekspornya, maka harga-harganya akan naik. Akibatnya inflasi di berbagai negara tidak bisa dihindari dan angka kemiskinan akan naik karena di Indonesia ukuran garis kemiskinan sangat tergantung pada inflasi,” papar dia.
Bagi Kalbar, produk kelapa sawit secara komposisi merupakan yang terbesar dalam ekspor Kalbar. Bahkan sebagian produk tersebut masih diekspor lewat provinsi lain, sehingga sesungguhnya banyak yang tidak tercatat sebagai ekspor Kalbar. Apabila ekspor sawit disetop, maka panen perusahaan perkebunan dan petani sawit dipastikan tidak terserap. “Apalagi kebutuhan sawit untuk ekspor berkali-kali lipat lebih besar dari permintaan domestik,” jelas dia.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, sepanjang tahun 2021, produk sawit yang tercatat sebagai Kelompok Lemak & Minyak Hewan /Nabati (HS15) menyumbang 38,57 persen total ekspor Kalbar. Nilainya mencapai 457,01 juta dolar bagi ekspor provinsi ini. Sawit menjadi penyumbang tertinggi, disusul produk tambang.
Tambahan pula, angka tersebut hanya sebagian saja, lantaran sejatinya produk sawit Kalbar banyak juga dikirim lewat provinsi lain, sehingga tak tercatat. Sementara itu secara Struktur PDRB Provinsi Kalimantan Barat Menurut Lapangan Usaha, sektor pertanian termasuk sawit menyumbang 21,24 persen dari seluruh kegiatan usaha di provinsi ini pada tahun lalu. (arf/ars)