Dua warga Pontianak, HS dan HA menjalani sidang di Pengadilan Negeri Pontianak dengan dakwaan dugaan pemalsuan buku tanah, Selasa (5/4).
JPU Kejari Pontianak, Abran Marojahan menerangkan, kedua terdakwa pada Senin 7 Mei 2018 dan Rabu 14 November 2018 di Jalan Ahmad Yani Pontianak melakukan perbuatan membuat surat palsu atau memalsukan surat. Sidang dipimpin hakim ketua, Ahmad Fijiarsyah Joko Sutrisno didamping anggotanya, Kurnia Dianta Ginting dan Moh. Nor Azizi, yang dibantu panitera pengganti, Mahyus.
Sidang dimulai sekira pukul 11.30. Sidang dilakukan secara daring. Dalam persidangan hanya menghadirkan jaksa penuntut dan penasehat hukum terdakwa. Sementara kedua terdakwa mengikuti persidangan secara online di Lapas Klas IIA, Pontianak.
Abran menegaskan, perbuatan para terdakwa diancam dalam pasal 263 ayat (1) KUHP jo pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP atau dalam pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara enam tahun.
Abran menyatakan, buku tanah atas nama Syarif Taher Al-Munthohar di Kelurahan Barito, Kelurahan Benua Melayu Laut tidak terdaftar di BPN Pontianak. BPN mencatat buku tanah nomor 49 di Pontianak, milik orang lain yakni Ngo Yuan Cua dengan luas 233 meter persegi.
Jaksa berpendapat tidak dimungkinkan ada nomor buku tanah yang sama di satu kelurahan. Sehingga buku tanah yang dimiliki kedua terdakwa terbukti diduga palsu. Kuasa Hukum kedua terdakwa, Syarif Kurniawan menilai kliennya tidak bersalah. Keduanya dizolimi penegak hukum oleh laporan karyawan Bambang Widjanarko.
Dia menerangkan, berdasarkan putusan PTUN, banding hingga kasasi menyatakan jika buku tanah nomor 49 tahun 1963 atas nama Syarif Taher Al-Munthohar merupakan buku tanah sah, bernilai dan diakui memiliki kekuatan hukum sebagai buku tanah yang terletak di samping Jalan Barito, Kecamatan Pontianak Kota dengan luas 7.200 meter persegi.
Kurniawan menyatakan, JPU tidak punya dasar kuat mendakwa kedua kliennya. Bahkan, dakwaan yang dibacakan JPU cenderung seperti perkara perdata karena tidak dijelaskan bagaimana cara terdakwa melakukan pemalsuan.
“Caranya, tekniknya tidak ada. Hanya diduga memalsukan,” terangnya.Tak hanya itu, lanjut Kurniawan, JPU tidak cermat dalam melihat dasar hukum pelapor. Karena pelapor kasus ini bukan korban. Tapi, orang lain. “Pelapor itu harusnya orang yang mengalami kerugian, ini (pelapor) hanya sebagai saksi,” terangnya.
Kurniawan mengingatkan, dalam gugatan di PTUN Pontianak hingga kasasi, putusan incraht Mahkamah Agung dengan tegas dan jelas memperkuat putusan tingkat pertama, yakni menggugurkan sembilan sertifikat atas nama Bambang Widjanarko yang berada di atas tanah hak milik ahli waris berdasarkan buku tanah nomor 49 tahun 1963.
“Apa yang dialami kedua klien kami ini jelas tindakan kriminalisasi yang dilakukan penegak hukum. Polisi mengabaikan putusan incraht MA,” pungkas Kurniawan. (adg)