Lestarikan Mangrove Kalbar, Tebang Sebatang Pohon Wajib Ganti Sepuluh Bibit

- Senin, 14 Februari 2022 | 10:24 WIB
TANAM MANGROVE: Warga Desa Sungai Nibung menanam bibit mangrove jenis bakau merah di Dusun Tanjung Burung sebagai salah satu upaya pelestarian. (Ashri Isnaini/Pontianak Post)
TANAM MANGROVE: Warga Desa Sungai Nibung menanam bibit mangrove jenis bakau merah di Dusun Tanjung Burung sebagai salah satu upaya pelestarian. (Ashri Isnaini/Pontianak Post)

Hutan mangrove di Desa Sungai Nibung, Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya terbilang bagus. Hanya saja, karena sebelumnya minim pengetahuan, banyak warga cenderung mengeksploitasinya sehingga sebagian kawasan mangrove di desa ini rusak. Seiring meningkatnya pemahaman, masyarakat setempat akhirnya sepakat membuat aturan bersama untuk melestarikan mangrove. Mereka juga rutin melakukan penanaman.

Ashri Isnaini, Teluk Pakedai

WAKTU menunjukkan pukul 13.30 WIB, pada pertengahan Desember 2021. Nurdin (39) bersama beberapa rekannya, baru saja menanam sekitar seribu bibit mangrove jenis Rhizophora atau bakau merah di Dusun Tanjung Burung, Desa Sungai Nibung, Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya. Kala itu, seribuan bibit mangrove ditanam di areal yang rusak. Letaknya sekitar 1,5 kilometer dari pemukiman warga. Lokasinya dapat ditempuh melalui jalur sungai menggunakan sampan atau kano.

Masyarakat setempat sepakat menanam mangrove dengan bergotong-royong. Mereka menargetkan dalam jangka waktu 20 hari bisa menanam lebih dari 20 ribu bibit mangrove di atas lahan dengan luas sekitar 15-20 hektare.

“Biasanya sekali turun ada sekitar 10 warga yang ikut menanam dan kecepatan penanamannya juga tergantung cuaca,” kata Nurdin.

Pria yang sehari-harinya menjadi nelayan ini berharap bibit-bibit itu tumbuh dan menghijaukan pesisir desanya. Dengan semakin terjaganya ekosistem mangrove, Nurdin berharap pendapatan warga bisa lebih meningkat. Selain dari hasil laut berupa ikan, kepiting udang dan sejenisnya, warga juga diharapkan mampu menghasilkan banyak produk baru berupa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

“Ke depan, saya juga berharap masyarakat desa bisa menghasilkan produk HHBK seperti madu mangrove dan sirup mangrove untuk bisa menambah penghasilan. Saya yakin, jika mampu mengelolanya, potensi itu ada dan bisa dikembangkan di desa kami,” ujarnya.

Desa Sungai Nibung terletak 61,6 kilometer dari ibu kota Kalimantan Barat, Pontianak. Jika menggunakan speedboat dari Dermaga Rasau Jaya, desa ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam. Desa ini berpenduduk 1.318 jiwa. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persen warganya adalah nelayan. Selebihnya bermata pencaharian sebagai petani, buruh dan pedagang kecil.

Mengingat banyaknya masyarakat yang menggantungkan hidup dari hasil menangkap ikan, udang dan kepiting, kelestarian mangrove menjadi penting. Luas kawasan mangrove di desa ini mencapai 4.127 hektare. Sayangnya, sejak 2010, sekitar 200 hektare hutan mangrove Desa Sungai Nibung gundul. Dampaknya saat itu tangkapan nelayan turun. Dari yang biasanya 200-250 kilogram per bulan menjadi hanya 100 kilogram per bulan.

Penurunan hasil laut itu, menggerakkan Nurdin dan warga lainnya untuk menanam di areal yang rusak sejak 2015. Gerakan warga ini didukung pemerintah desa setempat dengan menerbitkan Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2015 tentang Daerah Perlindungan Laut dan Pesisir Desa Sungai Nibung.

Salah satu implementasi perdes tersebut adalah menjatuhkan sanksi bagi perusak kawasan mangrove. Bagi warga yang menebang sebatang pohon mangrove maka harus menggantinya dengan 10 bibit mangrove. Upaya ini ternyata membuahkan hasil. Areal yang rusak pelan-pelan pulih. Nurdin pun kini tak hanya lega karena hasil tangkapannya mulai kembali. Ia juga menikmati manisnya kunjungan wisatawan setelah Desa Sungai Nibung menjadi ekowisata bahari.

Bahkan di saat krisis akibat pandemi Covid-19, warga Desa Sungai Nibung tetap bisa mendapatkan penghasilan dengan menjaga ekosistem mangrove.

“Selain menjual hasil tangkapan segar, sejak masa pandemi sebagian masyarakat desa juga kian gencar mengolah hasil tangkapan dengan membuat kerupuk udang, ebi, terasi yang kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi ke daerah kota. Alhamdulillah hasilnya bisa membantu warga untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ungkapnya.

Baca Juga :  Tetap Bekerja di Ruang Isolasi  Sembari Merawat Tanaman

Inisiatif melestarikan ekosistem mangrove juga dilakukan masyarakat Desa Pasir, Kabupaten Mempawah, yang berjarak sekitar 110 kilometer dari Sungai Nibung. Desa ini memiliki hutan mangrove seluas 45 hektare. Sejak tahun 2012, masyarakat setempat aktif menanam mangrove. Hal ini karena sepanjang 800 meter garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove telah gundul.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Kloter Pertama CJH Kalbar Berangkat 27 Mei

Minggu, 12 Mei 2024 | 14:45 WIB
X