Direnovasi, Rumah Sakit Jiwa Ini Diusulkan Jadi Cagar Budaya

- Selasa, 12 Oktober 2021 | 11:50 WIB
RENOVASI: Para pekerja tengah mengerjakan proyek renovasi atau pemugaran gedung utama RSJD Sungai Bangkong Pontianak, Jumat (8/10). MEIDY KHADAFI/PONTIANAK POST
RENOVASI: Para pekerja tengah mengerjakan proyek renovasi atau pemugaran gedung utama RSJD Sungai Bangkong Pontianak, Jumat (8/10). MEIDY KHADAFI/PONTIANAK POST

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia atau World Mental Health Day diperingati setiap tahunnya pada 10 Oktober. Hari ini merupakan peringatan ke-29 tahun sejak kalii pertama diperingati pada 1992. Berbicara mengenai kesehatan jiwa di Kalimantan Barat (Kalbar), tentu tak bisa dilepaskan dari keberadaan Rumah Sakit Jiwa Pontianak atau yang kini disebut Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Sungai Bangkong Pontianak. Bangunan yang dulunya dikenal juga dengan sebutan Roemah Sakit Gila itu, kini dalam proses renovasi.

IDIL AQSA AKBARY, Pontianak

BENTUK bangunan rumah sakit sebisa mungkin akan dikembalikan seperti semula. Yakni ke sekitar tahun 1940-an, saat awal RS tersebut berdiri. Setelah dilakukan pemugaran, selanjutnya bangunan ini bakal diusulkan sebagai cagar budaya milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar.

Kepala Seksi Cagar Budaya dan Permuseuman Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalbar, Agus Satrianto, mengungkapkan, pengusulan bangunan RSJD Sungai Bangkong ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai cagar budaya, masih akan menunggu renovasi selesai. Meskipun catatan sejarahnya ada, status bangunan tersebut saat ini masih berupa objek atau bangunan diduga cagar budaya.

“Jadi gedung RSJ Sungai Bangkong belum kami usulkan untuk cagar budaya, menunggu rehabnya selesai sampai kembali ke bentuk semula seperti tahun 1940-an,” ungkapnya kepada Pontianak Post, Jumat (8/10).

Setelah selesai direhab atau dipugar, barulah pihaknya akan melakukan penelitian kembali. Apakah bangunan tersebut sudah kembali ke bentuk semula atau tidak? Apabila sudah kembali ke bentuk semula, termasuk ornamen-ornamennya, baru kemudian mereka usulkan untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.

Seandainya RSJD Sungai Bangkong berhasil ditetapkan sebagai cagar budaya, Agus mengatakan, bangunan itu akan menjadi satu-satunya cagar budaya yang status kepemilikannya (aset) milik Pemprov Kalbar. “Karena sebelum direhab sudah tertempel bangunan IGD dan apotek, makanya harus dibongkar dan direhab ulang untuk kembali seperti bangunan lama di tahun 1940-an,” terangnya.

Terpisah Direktur RSJD Sungai Bangkong Batara Hendra Putra Sianipar memperkirakan, proses pengajuan bangunan RS sebagai cagar budaya perlu waktu cukup panjang. Karena setelah renovasi atau pemugaran selesai, kemudian baru akan mereka usulkan ke Pemerintah Pusat. “Jadi masih panjang prosesnya, katanya tahunan. Dua tahun sudah bagus sekali katanya, karena tim penilainya dari pusat. Apalagi ini situasi pandemi jadi cukup perlu waktu,” ujarnya.

Untuk renovasinya sendiri, menurutnya, saat ini masih berjalan dan ditargetkan selesai pada akhir tahun. Atau jika melihat dari kontrak kerjanya, pembangunan, menurut dia, harus sudah selesai pada 20 Desember 2021. Adapun sumber pembiayaan proyek tersebut berasal dari pemerintah pusat lewat Dana Alokasi Khusus (DAK).

“Jadi dalam pembangunan ini kami melibatkan dari Inspektorat provinsi, Dinas PUPR, Disdikbud dan tim sejarawan Kalbar. Renovasi dilakukan sebagai persiapan pengusulan sebagai cagar budaya. Nanti diusulkan lewat Disdikbud, karena itu semaksimal mungkin kami kembalikan (bentuk bangunan) ke asal,” katanya.

Mengenai sejarah bangunan tersebut, Peminat Kajian Sejarah dan Budaya Kalbar, Syafaruddin Usman mengungkapkan, di zaman kolonial Belanda, sekitar awal tahun 1900-an, masyarakat di Kalbar banyak yang mengalami depresi akibat penjajahan. Dari situlah, menurut dia, asal muasal didirikannya RSJD Sungai Bangkong. “Jadi memang diperuntukkan menampung masyarakat keterbelakangan mental. Saat itu depresi berat melanda Kalbar,” ungkapnya.

Menurutnya RS tersebut dibangun di kawasan Sungai Bangkong, yang kala itu lokasinya berada di luar Tanah Seribu atau di luar Kota Pontianak sekarang. Karena hitungannya saat itu berada di luar kota, RS yang kini beralamat di Jalan Alianyang Nomor 1 itu, menurut dia, dianggap sebagai bangunan terpencil. Kawasannya, digambarkan dia, dipagari oleh hutan rimbun dan rawa-rawa.

Lokasinya, sebut dia, ketika itu termasuk dalam wilayah Sekip Darat dan dikenal sebagai Kampung Sungai Bangkong. Ia menceritakan, banyak pendapat yang menyebutkan awal mula sebutan Sungai Bangkong. Satu di antaranya yang diyakini banyak orang, di sekitar RS itu dulunya, menurut dia, terdapat banyak kodok besar atau bangkong.

Di aliran sungai di kawasan tersebut, menurut dia, banyak dijumpai kodok besar, sehingga dinamakan Sungai Bangkong. Kodok bangkong ini, menurut dia, tergolong suku hewan bufonidae atau bufoasfer. Menurut dia, sebenarnya banyak pula sebutan masyarakat untuk jenis katak itu. Disebutkan dia, ada yang menamakan kodok buduk sungai, kodok puru besar, ada juga kodok batu atau kongkong batu. “Yang pasti di sekitaran itu banyak hewan amfibi tersebut,” ucapnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X