Sejumlah Pihak di Kalbar Desak Perpanjang Moratorium Sawit

- Jumat, 24 September 2021 | 12:06 WIB

Masa berlaku kebijakan moratorium kelapa sawit yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit resmi berakhir pada Minggu (19/9). Sejumlah pihak menyayangkan kebijakan tersebut tidak diperpanjang mengingat selama ini implementasinya belum optimal.

Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat, Muhammad Munsif mengatakan, kebijakan moratorium sawit menjadi momentum bagi daerah untuk melakukan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang baik di tengah tingginya minat investasi.

“Hal ini dapat dilakukan melalui penataan perizinan, pencabutan izin yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya, dan pemenuhan kewajiban pelaku usaha seperti pembangunan kebun masyarakat sekitar 20 persen serta CSR,” kata Munsif dalam keterangan tertulis, Selasa (21/9).

Dia mengklaim selama masa moratorium, ada beberapa hal yang sudah dilakukan di Kalbar. Pertama adalah melakukan pengumpulan dan verifikasi data dan peta izin lokasi serta Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang masih aktif maupun yang sudah dicabut. Kedua, mengumpulkan data dan peta perkebunan kelapa sawit rakyat, baik yang sudah ataupun belum memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) pada wilayah kabupaten yang berada pada kawasan hutan dan di luar kawasan hutan (APL). Ketiga adalah menyampaikan laporan kepada Menteri Pertanian RI melalui Direktorat Jenderal Perkebunan terhadap hasil pengumpulan dan verifikasi data.

Lebih jauh dipaparkan Munsif, saat ini jumlah IUP di Kalbar yang diterbitkan sebanyak 378 perusahaan dengan luas sekitar 3.321.731 Hektare dan tersebar di 12 kabupaten. Hasil analisis spasial (overlay) yang dilakukan oleh pemerintah, kata dia, indikasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan berdasarkan Kepmenhut 733 tahun 2014 sebanyak 23 perusahaan dengan luas sekitar 38.616,98 Hektare. Angka tersebut menurutnya masih perlu dilakukan verifikasi lebih lanjut.

“Ini disebabkan oleh perubahan status kawasan hutan dari Kepmenhut Nomor 259 Tahun 2020 dengan Kepmenhut Nomor 733 Tahun 2014, di mana dulu status Areal Penggunaan Lain (APL) diubah menjadi kawasan hutan,” katanya.

Solusi penyelesaian permasalahan tersebut, tambah dia, sudah diakomodir di Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan mengajukan izin penggunaan kawasan hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalbar menurutnya telah melakukan identifikasi permasalahan dan koordinasi dengan kabupaten dalam upaya percepatan permohonan izin penggunaan dan pelepasan kawasan hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Untuk diketahui, aturan moratorium Inpres Nomor 8/2018 diteken Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018. Inpres ini lahir dalam rangka meningkatkan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, dan menjaga kelestarian lingkungan. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan penundaan perizinan perkebunan kelapa sawit dan evaluasi atas perizinan perkebunan kelapa sawit yang telah diterbitkan dilakukan paling lama tiga tahun sejak Inpres ini dikeluarkan dan pelaksanaan peningkatan produktivitas kelapa sawit dilakukan secara terus-menerus.

Namun sejumlah pihak menilai Inpres Nomor 8 Tahun 2018 belum berjalan sesuai harapan sehingga perlu diperpanjang, bahkan penguatan. Direktur Eksekutif Lembaga Teraju Indonesia Agus Sutomo menyayangkan pemerintah yang tidak memperpanjang kebijakan tersebut. Menurutnya kebijakan tersebut belum berjalan secara optimal.

“Pertama kami masih melihat terjadinya deforestasi. Kedua adalah terjadinya kebakaran lahan milik perusahaan yang kemudian itu ditanami sawit,” ucapnya, Selasa.

Dari aspek ekonomi, kesejahteraan petani khususnya plasma dinilainya belum begitu sejahtera. Dalam pemantauannya, sistem bagi hasil yang diberikan perusahaan sangat rendah sehingga petani tidak mendapatkan keuntungan signifikan.

Kebijakan tidak memperpanjang moratorium, lanjutnya, juga tidak menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim. Sebab, perkebunan sawit di Indonesia, terkhusus  Kalbar juga menjadi jadi sorotan lantaran masih adanya deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, hingga eksplorasi gambut.

Ia juga mengkritik perusahaan yang belum mengantongi sertifikat Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Menurut dia, minimnya jumlah IUP yang bersertifikat ISPO dikarenakan pemerintah tidak tegas dalam mendorong perusahaan agar memiliki sertifikat itu. Berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalbar, baru 52 IUP yang telah mengantongi ISPO dari total 378 IUP yang diberikan.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X