Ganti Rugi Karhutla Belum Masuk Kas Negara, Nilainya Tembus Rp3,4 Triliun

- Senin, 28 Juni 2021 | 15:13 WIB
ilustrasi
ilustrasi

 Komitmen Pemerintah dalam upaya mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan ditunjukkan nstruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. Namun, faktanya bencana ekologis itu masih saja terjadi.

Bahkan, Rp 3,4 triliun lebih pembayaran ganti rugi dari perusahaan pelaku pembakaran hutan dan lahan di Indonesia yang telah berkekuatan hukum (inkrach) dalam putusan perkara perdata, hingga kini belum masuk kas negara. Diberitakan pontianakpost.co.id, data itu tercatat dari kasus perdata kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015-2021, yang berhasil dimenangkan dalam kasus penegakan hukum karhutla oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen Penegakan Hukum Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat ini hanya Rp 78,5 miliar pembayaran ganti rugi yang berhasil di eksekusi.

Selama kurun waktu tersebut, Gakkum KLHK berhasil mencabut 3 izin operasional, 16 pembekuan izin, 91 paksaan pemerintah, menerbitkan 633 surat peringatan dan 743 sanksi administratif. Serta pengawasan terhadap 638 perusahaan dan indvidu yang melakukan aktivitas kehutanan dan lahan di Indonesia. Selain itu tercatat 11 kasus karhutla telah inkracht dengan pidana dan denda, 3 masih P-21 dan 5 perusahaan dalam proses sidik.

Direktur Penegakan Hukum Pidana Dirjen Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Yazid Nurhuda mengungkapkan, proses eksekusi denda dari perusahaan pelaku karhutla masih terkendala teknis di lapangan maupun birokrasi, dimana wewenang eksekusi sepenuhnya ada di tangan pengadilan.

Dalam gugatan perdata, kami Legal standing-nya sebagai penggugat mewakili kepentingan lingkungan yang rusak akibat karhutla. Ada yang menang dan inkracht, tapi eksekusi putusan menjadi wewenang ketua pengadilan dimana kasus  diperkarakan. Kami memohon dieksekusi, mendorong dan menghadap ketua Pengadilan Negeri. Tapi banyak pertimbangan dan permasalahan teknis di lapangan,” ungkap Yazid dalam Wokshop Jurnalis Build Back Better “Karhutla dan Komitmen Penegakan Hukum” yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) secara daring, Sabtu (26/6).

Salah satunya, kata Yazid, adalah menghitung aset dari perusahaan pelaku karhutla yang digugat. Pihaknya kesulitan mengajukan penyitaan aset sebagai alat pemenuhan bukti untuk memenangkan gugatan.

“Praktik di lapangan tidak mudah. Waktu itu yang penting kita gugat dulu dan menang dulu. Begitu menang dan mengajukan eksekusi, dipertanyakan asetnya. Karena itu kita sekarang dalam proses menelusuri aset agar bisa diajukan ke pengadilan untuk dieksekusi,” imbuhnya.

Belum lagi tantangan di lapangan. Banyak intervensi dan perlawanan fisik dan psikis, digugat pra peradilan, dipidanakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Hingga penyidik dilaporkan ke polisi dan dijadikan tersangka.

Yazid mencontohkan dalam kasus karhutla di Aceh. Pihaknya mendapat perlawanan saat datang untuk menghitung harga kebun sawit. “Kita dihadapkan pada warga atau pekerja kebun dan akhirnya diperintahkan mundur. Personil terbatas, jadi selain berbahaya juga untuk menghindari konflik.”

Dalam kesempatan yang sama, Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB mengatakan, penanganan kasus karhutla tidak sederhana dan butuh waktu lama dalam proses pembuktian.  Butuh bukti sains dan teknologi untuk mengungkap kasus tersebut.

“Kita harus bicara scientific evident dalam menelusuri lokasi kebakaran dan mengungkap penyebabnya. Apakah itu ketidaksengajaan atau by design. Bagaimana mungkin bisa menghitung ribuan hektare lahan terbakar dalam waktu satu hari, tahu dimana titik awal lokasi terbakar dan siapa pelakunya. Teknologi juga sangat membantu dalam pembuktian,” kata ahli karhutla IPB ini.

Banyak kasus sukses dibuktikan, seperti kasus karhutla yang melibatkan perusahaan sawit Wilmar Nabati Indonesia di Kalimantan Barat yang terbukti melakukan pembakaran lahan hingga bantuan pembiayaan dari Bank Dunia untuk perusahaan ini dicabut.

Sementara itu, analisis Greenpeace Asia Tenggara menemukan, Antara 2015 – 2019, 4,4 juta hektar lahan terbakar di Indonesia. Sekitar 789.600 hektar (18 persen) telah berulang kali terbakar. 1,3 juta hektar (30 persen) dari area kebakaran yang dipetakan berada di konsesi perkebunan kelapa sawit dan bubur kertas (pulp).

Bahkan, karhutla tahunan terburuk sejak 2015  membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Balap Liar Mulai Resahkan Warga Sukadana

Rabu, 17 April 2024 | 11:20 WIB

Pj Gubernur Kalbar Sidak Pegawai Usai Libur Lebaran

Selasa, 16 April 2024 | 09:12 WIB

Warga Ngabang Keluhkan Tarif PDAM Naik Drastis

Senin, 15 April 2024 | 14:30 WIB

Polres Sintang Cegah Praktik Kecurangan di SPBU

Selasa, 9 April 2024 | 09:27 WIB

Ismail Jadi Pj Bupati Mempawah, Gantikan Herlina

Minggu, 7 April 2024 | 11:15 WIB
X