Ike mengatakan, karena tidak terima dengan perbuatan yang terus berulang, pada 16 Januari 2021, pihak korban mengajak pelaku bertemu. Dalam pertemuan itu, pelaku mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi. Kemudian pada 17 Januari 2021, keluarga korban mengadukan apa yang terjadi ke salah satu suster di Yayasan Dharma Insan.
“Tetapi setelah pertemuan, janji dan pengaduan itu, pelaku masih saja mengulangi perbuatannya,” tutur Ike.
Dalam pertemuan dengan pihak yayasan, korban diminta untuk membuat kronologis kejadian yang dialaminya dan menyampaikan alasan mengapa sebelumnya tidak melapor. Oleh pihak yayasan, ia dianggap membiarkan pelecehan itu terjadi.
“Anehnya, oleh yayasan korban tidak boleh didampingi pengacara ketika memperjuangkan kasusnya. Padahal kami diminta mendampingi, karena tindakan yang diambil pihak yayasan terhadap pengaduan korban sangat lamban,” ungkap Ike.
Dari pengaduan itu, Ike menambahkan, pada 20 Januari korban dipindahkan ke ruangan perawatan lain. Selain lambannya tindakan, ternyata Yayasan Dharma Insan dan pihak rumah sakit tidak memberikan perlindungan hukum kepada kliennya. Sebagai korban, kliennya malah diberikan hukuman, yakni penurunan golongan satu tingkat dari penata muda 3B menjadi 3A.
Ike menerangkan, karena ketidakadilan inilah, korban merasa bahwa tindakan rumah sakit itu sudah sangat merugikan dirinya. Tidak hanya menjadi dilecehkan secara seksual, korban juga merasakan sanksi sosial akibat perbuatan pelaku.