Komisi Ini Bilang, Belum Ada Anak Kalbar yang Jadi Korban Prostitusi Online

- Jumat, 8 Januari 2021 | 12:15 WIB
CAPTION: JUMPA PERS. KPPAD Kalbar saat menggelar jumpa pers usai sidang kasus kejahatan seksual yang digelar di PN Sanggau, Kamis (7/1). **Foto: sugeng/pontianak post
CAPTION: JUMPA PERS. KPPAD Kalbar saat menggelar jumpa pers usai sidang kasus kejahatan seksual yang digelar di PN Sanggau, Kamis (7/1). **Foto: sugeng/pontianak post

Komisioner Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat, Alik R Rosyad mengatakan dari identifikasi data anak yang terlibat dalam kasus prostitusi online yang sedang viral belakangan ini, belum ada data anak Sanggau yang terlibat dalam kasus tersebut.

“Kalau dari Sanggau (anak yang teridentifikasi prostitusi online di Kalbar), belum ada. Mudah–mudahan tidak ada,” katanya ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Sanggau, Kamis (7/1) siang. Dikatakannya, sepanjang 2020, KPPAD Kalimantan Barat telah mengidentifikasi ada sekira 80–an anak yang terlibat pada prostitusi pelajar atau prostitusi online baik sebagai korban, pelaku maupun saksi. “Itu hasil dari seluruh Kalimantan Barat. Namun dominannya dari Kota Pontianak dan sebagian kecil dari Kubu Raya. Tetapi ada satu atau dua anak yang dari luar dua daerah itu,” ungkapnya.

Terkait dengan kehadirannya ke Bumi Daranante, Alik menjelaskan bahwa KPPAD Kalbar hadir dalam rangka pendampingan dalam persidangan kasus kejahatan seksual dengan lokus di Kabupaten Sanggau. Kasus tersebut dilakukan oleh orangtua kepada anak (tiri) dan keponakannya.

“Kehadiran kami di Pengadilan Negeri Sanggau terkait pendampingan kasus dengan terdakwa MA yang disangkakan melakukan tindakan kejahatan seksual terhadap anak (tiri) dan ponakannya. Hal ini dilakukan sebanyak dua kali terhadap anak (tirinya) dan sekali terhadap ponakannya. Tadi fakta–fakta dipersidangan sudah disampaikan oleh saksi korban dan juga (melalui) alat bukti yang lain. Walaupun memang terdakwa tidak mengakui perbuatannya,” jelasnya. 

“Nanti majelis hakim yang akan mempertimbangkannya sambil mendengarkan keterangan saksi–saksi yang lain,” katanya menambahkan. Terkait dengan Undang–undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 bahwa sangkaan terhadap pelaku kejahatan seksual adalah minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Apabila dilakukan oleh orangtua kandung atau tenaga pendidik atau tenaga pengasuh maka dapat ditambahkan sepertiga menjadi maksimal 20 tahun penjara.

“Harapan kami, jaksa penuntut umum (JPU) bisa melakukan penuntutan maksimal terhadap kejahatan ini. Karena, jelas di situ kejahatan dilakukan terhadap anak (tiri) bahkan keponakannya. Dan pastinya (harapan kami) diikuti dengan putusan hakim.walaupun kami sangat menghormati hal itu menjadi kewenangan persidangan (nantinya),” terang dia. 

Alik juga menginformasikan bahwa pada akhir tahun 2020, Presiden Joko Widodo juga telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 mengenai sanksi tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual yaitu tindakan kebiri kimia, kemudian pemberian identitas atau alat pendeteksi, rehabilitasi serta publikasi pelaku kejahatan tersebut.

“Terkait PP ini, kami mendorong jaksa di Kejaksaan Negeri Sanggau juga bisa memberlakukan sanksi tambahan ini kepada terdakwa. Karena, salah satu syarat tindakan kebiri ini adalah dilakukan lebih dari sekali dan lebih dari satu orang. Dan ini sudah terpenuhi (unsur) sebenarnya. Apabila ini dilakukan maka akan menjadi contoh ataupun role model kedepannya ditempat lain,” katanya.

Sementara itu, penasihat hukum terdakwa MA, Munawar Rahim ketika dikonfirmasi harian ini mengatakan pada sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di PN Sanggau, terdakwa membantah semua keterangan saksi.

“Intinya, terdakwa membantah semua keterangan (yang diberikan) oleh saksi karena memang tidak pernah melakukan hubungan persetubuhan sebagaimana dituduhkan kepadanya,” tegas Munawar. (sgg)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Dua Desa di Kabupaten Kapuas Hulu Dilanda Gempa

Kamis, 21 Maret 2024 | 22:06 WIB
X