Gagal di Program Transmigrasi, Sukses Setelah Pindah Lokasi

- Senin, 5 Oktober 2020 | 13:21 WIB
TERNAK IKAN: Hudori (65) saat menaburkan pakan di kolam miliknya. ARIS MUNANDAR/PONTIANAK POST
TERNAK IKAN: Hudori (65) saat menaburkan pakan di kolam miliknya. ARIS MUNANDAR/PONTIANAK POST

Niat Pontianak Post untuk mengunjungi Bukit Kelam berakhir pada obrolan panjang bersama Hudori (65). Lelaki paruh baya itu bercerita tentang bagaimana ia merantau ke Sintang, membuka lahan di kaki bukit, dan memanfaatkan sumber air dari bukit itu untuk mengisi kolam-kolam ikan miliknya.

 

ARIS MUNANDAR, Sintang

Lelaki 65 tahun ini punya banyak hal untuk diceritakan tentang tanahnya yang seluas satu hektare di kaki Bukit Kelam. Bagaimana tidak, di sini ada berbagai macam usaha yang dilakukannya. Mulai dari budidaya ikan konsumsi dan ikan hias, berkebun sayuran, memelihara ayam dan kalkun. Ia juga pernah memelihara kerbau. Juga ada sarang burung walet yang baru setengah tahun berdiri.

Di areal itu kami berbincang. Tanah garapan Hudori dikelilingi kolam ikan. Ayam dan kalkun terlihat lalu lalang, dibarengi riuh rendah suara burung walet yang keluar dari pengeras suara.

Perjalanan 39 tahun merantau di Sintang menjadi semacam tiket untuk semua itu. Hudori adalah laki-laki asal pemalang yang ikut program transmigrasi ke Sepauk pada 1981. “Dua tahun ikut dalam binaan transmigrasi, saya gagal. Karena untuk pertanian, tanahnya gersang. Ditanami padi dan jagung, tidak bisa sampai panen,” ujarnya.

a memutuskan untuk pindah dari lokasi transmigrasi tahun 1985. Berjalan kaki menuju Sintang. Tepatnya di simpang menuju Bukit Kelam. Berhari-hari ia habiskan. Beristirahat di emperan toko.

Lama laki-laki asal pemalang itu tinggal di sana. Di rumah di tengah sawah yang berukuran 3 x 5 meter yang disebutnya pondok. Mulai dari berjualan sayur sampai jadi buruh perusahan karet pernah ia lakoni. Pak Dori, panggilan akrabnya, baru merasa mulai menemukan hidup ketika Bukit Kelam dibuka jadi objek wisata dan ia menjadi pedagang kecil yang menjual aneka makanan dan minuman.

“Dulu saya berjualan di atas. Jual minum dan makanan. Mulai dari harga air mineral kemasan harganya masih 200 perak. Itu tahun 1990. Dari sana saya dan istri mulai merasa hidup agak nyaman,” ucapnya sembari pandangannya mengarah ke puncak Bukit Kelam.

Lantas ia dipercayakan untuk menjaga kolam ikan milik seorang pegawai bank yang tinggal di kaki Bukit Kelam. Hudori mengiyakan. Meski hanya diupah 10 kilo beras sebulan.

“Namun dulu sering dicuri. Saya kan jualan di atas. Kolamnya di bawah. Ada saja anak-anak yang mancing di situ kalau saya lagi tidak menjaga kolam,” ujarnya.

Lelaki berkulit gelap ini lalu meminta izin kepada yang punya tanah untuk mendirikan warung di dekat jalan, persis di depan pintu masuk menuju pendakian ke Bukit Kelam. Alasannya, agar tak perlu berjualan ke atas dan dekat mengawasi kolam ikan majikannya.

Ia diizinkan punya warung di depan Bukit Kelam. Lalu pertengahan 1990-an ia pindah bersama istri dan anaknya dari simpang Kelam menuju depan wisata Bukit Kelam. Menjual rumah yang ada di simpang Kelam. Untuk dibelikan tanah dan dibangun rumah di depan Bukit Kelam “Dulu di sini rumah masih jarang. Ada satu dua saja,” ujarnya menceritakan bagaimana kondisi Lingkar Kelam dulu.

Dari sanalah kakek yang punya sembilan cucu ini mulai membuka tambak ikan. “Dulu belinya ndak langsung segini. Sedikit-sedikit dulu,” ujarnya menunjuk area tanah berukuran 3 hektar yang baru sepertiga dan kelolanya. Sisanya masih berupa hutan dengan pepohonan yang masih menjulang.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X