Perjuangan Suami Istri yang Sulap Pantai Mendalok Jadi Hutan Mangrove: Pernah Disebut Gila dan Stress

- Minggu, 26 Juli 2020 | 12:47 WIB
PEMBIBITAN MANGROVE: Pasangan suami istri Yusiran dan Nunung melakukan pembibitan mangrove yang telah ditekuninya secara swadaya selama 20 tahun ini. DOKUMEN
PEMBIBITAN MANGROVE: Pasangan suami istri Yusiran dan Nunung melakukan pembibitan mangrove yang telah ditekuninya secara swadaya selama 20 tahun ini. DOKUMEN

SETELAH puluhan tahun, kini kawasan abrasi di Pantai Mendalok, Kecamatan Sungai Kunyit telah ‘disulap’ menjadi hamparan hutan mangrove yang hijau dan menyejukkan mata. Alhasil, hutan mangrove ini tak hanya menyelamatkan lingkungan dari kerusakan, melainkan menjadi sumber ekonomi masyarakat lokal.

Adalah Yusiran (51) dan istrinya, Nunung (46). Merekalah yang telah ‘menyulap’ kawasan abrasi Pantai Desa Mendalok menjadi hamparan hutan mangrove. Selama 20 tahun, pasangan suami istri (pasutri) ini melakukan konservasi mangrove secara swadaya.

“Pertama kali menanam mangrove di pantai Desa Mendalok ini pada tahun 1998. Dan sampai sekarang, kami masih melanjutkan aktivitas konservasi mangrove ini,” kata Nunung mendapingi Yusiran saat ditemui Pontianak Post di Saung Mangrove miliknya, beberapa waktu lalu.

Nunung menceritakan, awal mula melakukan konservasi mangrove berangkat dari usahanya untuk melindungi tempat tinggalnya dari terjangan ombak dan sapuan angin laut. Saat itu, digambarkan dia, kondisi Pantai Desa Mendalok sangat memprihatinkan. Percaya atau tidak, ketika itu tidak ada satu batang pun pohon mangrove pun yang tumbuh.

“Jika sudah musim angin dan ombak, rumah kami seperti mau roboh. Atap, dinding papan, rusak diterjang gelombang laut. Dari situlah kami berpikir bagaimana caranya agar rumah ini aman dari ombak dan angin laut,” tutur wanita berjilbab ini seperti dikutip dari Pontianakpost.co.id.

Kondisi itu pun diketahui oleh salah seorang kerabatnya yang bekerja di Dinas Kehutanan setempat. Keluarganya itulah yang pertama kali menyarankan dirinya untuk menanam mangrove di Pantai Mendalok. Sebab, satu-satunya cara untuk mengatasi abrasi adalah dengan penanaman pohon yang dalam bahasa lokal disebut bakau itu.

“Awalnya kami dikasih bibit mangrove secara gratis. Bibit itulah kami manfaatkan untuk ditanam di sekitar rumah ini. Saya, suami, dan anak-anak turun ke lumpur menanam mangrove,” kenangnya.

Namun, imbuh Nunung, menanam mangrove tak semudah yang dia bayangkan. Bibit mangrove yang tampak akan tumbuh subur itu justru mati akibat hantaman gelombang dan sampah-sampah balok kayu dari laut. Dia dan suaminya pun tak patah arang, mereka terus menanam bibit yang baru.

“Yang lebih menyakitkan itu kendala dari manusia. Terkadang, pohon mangrove yang sudah tumbuh subur, ditebang. Ada pula pohon yang tumbang karena ditabrak perahu-perahu milik nelayan setempat,” lirih Nunung mengingat perjuangannya.

Tak hanya itu, tantangan terbesar pun diakui dia datang dari lingkungan masyarakat setempat. Usahanya untuk memperbaiki abrasi pantai bukannya mendapatkan dukungan, justru cemoohan. Tak sedikit masyarakat yang mengatakan keluarganya sakit jiwa karena menanam mangrove yang disebut tidak memiliki nilai ekonomis. “Disebut sebagai orang gila, stres, sudah biasa bagi keluarga kami. Mereka mengatakan, kami hanya membuang waktu menanam pohon yang tidak ada hasilnya,” ucap Nunung menirukan cemoohan terhadap keluarganya. 

Nunung pun mengatakan, upaya konservasi yang dilakukan keluarga tidak mengenal waktu. Masih segar dalam ingatannya pada Ramadan, dia beserta suami dan anak-anaknya menanam mangrove pada sore hari hingga menjelang azan magrib.

“Kalau keluarga orang bisa duduk santai menyiapkan makanan dan minuman enak untuk berbuka puasa. Sementara keluarga kami masih berlumpur-lumpur menanam mangrove. Kadang, anak-anak saya menangis dengan kondisi itu,” tuturnya.

Seiring perkembangan waktu, upaya konservasi mangrove yang dilakukannya mulai menunjukkan hasil. Hutan mangrove mulai tampak menghijau di Pantai Desa Mendalok. Deburan ombak dan angin laut yang kencang pun sudah tidak lagi dirasakannya.

“Alhamdulillah, sekarang rumah kami benar-benar aman dari ombak dan angin kencang. Bahkan, jika ada angin kencang kami pun tidak menyadarinya. Karena sudah tertahan oleh hutan mangrove,” ucapnya sumringah sembari menatap hutan yang ditanami 75 ribu batang pohon mangrove itu.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Dua Desa di Kabupaten Kapuas Hulu Dilanda Gempa

Kamis, 21 Maret 2024 | 22:06 WIB
X