Meriyanti sendiri membantah keras isu larangan berhijab dikeluarkan pihaknya. Kata dia, tidak pernah ada aturan itu. Bahkan, ia menyatakan, paham apa itu berhijab. “Saya muslim, saya mualaf, suami saya juga muslim,” tuturnya. Guru-guru yang mengajar di sana pun banyak yang mengenakan hijab.
Imbuh dia, "Standarnya kita kan memang dari dulu, histori Fajar Harapan dari dulu begitu. Intinya ingin menerapkan aturan disiplin dari pakaian agar seragam. Tidak pernah melarang menggunakan hijab". Terkait aturan pemakaian rok yang dibuatnya sudah disosialisasikan kepada wali murid. Ditempel di papan pengumuman.
Kata dia, misalnya baju batik merah kerudungnya hitam. “Namun masih ada juga yang menggunakan kerudung putih, jadi jika dilihat tidak ada keseragaman,” ujarnya.
Sedangkan untuk celana, ia menjelaskan, mungkin beberapa tahun lalu memang ada dikarenakan wabah demam berdarah. Jadi dari wali kota membolehkan memakai celana, sehingga menjadi keterusan.
Karena itu, Meriyanti menjelaskan, per tahun ajaran bulan Juli, ia membuat aturan internal sekolah yang baru. Untuk siswi nonhijab harus pakai rok di bawah lutut. Sedangkan yang pakai hijab mengenakan rok panjang berbaju lengan pendek dan ber-ankle.
"Karena kalau lengan panjang, mereka yang nonhijab juga mengenakan lengan panjang juga. Kok dia boleh, sedangkan saya tidak boleh, inikan namanya juga anak-anak, jadi kita tertibkan disiplinnya," papar perempuan berusia 35 tahun ini.
Ia juga membantah telah mengeluarkan omongan tak sedap kepada orangtua murid, Lina Juliandari. “Saya tidak pernah mengatakan seperti itu, itu hal yang sangat zalim banget bagi saya, kalau saya sampai bawa, maaf kotoran sapi dibawa-bawa, bendahara saya di tempat juga pasti dengar, " tegas Meriyanti. Intinya, sambung dia, sangat tidak masuk akal kalau ia berbicara sampai mengucapkan kotoran sapi.
Terkait kenaikan iuran SPP, dijelaskannya, semua itu bertujuan untuk menaikkan gaji dan kesejahteraan guru yang selama tujuh tahun tidak meningkat. Naiknya iuran itu dari Rp140 ribu ke Rp165 ribu.
Dan bahkan biaya SPP, disebutkannya, pernah dibebaskannya untuk murid yang rumahnya mengalami peristiwa kebakaran. Bahkan ada juga yang menunggak hingga setahun dan berbulan-bulan. Pihaknya tidak bisa menspesialkan siapapun. Karena akan tidak adil jika ada orangtua yang membayar sebesar Rp165 ribu sedangkan ada yang ngotot meminta SPP Rp110 ribu. "Saya sudah beri keringanan sebesar Rp150 ribu," pungkas Meriyanti. (Maulidi Murni/rk)